Tindak Tutur
J.L. Austin dan J.R. Searly
A.
Tindak Tutur Versi Austin
Teori tindak tutur muncul sebagai
reaksi terhadap ‘descriptive fallacy’, yaitu pandangan bahwa kalimat
deklaratif selalu digunakan untuk mendeskripsikan fakta atau ‘state of
affairs‘, yang harus dilakukan secara benar atau secara salah (Malmkjer,
2006: 560). Padahal, menurut Austin, banyak kalimat deklaratif yang tidak
mendeskripsikan, melaporkan, atau menyatakan apapun, sehingga tidak bisa
dinyatakan benar-salahnya. Ujaran dari kalimat tersebut adalah (bagian dari)
kegiatan/tindakan. Misalnya, kalimat “Saya nikahkan … dengan mas kawin
seperangkat alat sholat dibayar tunai.” yang diucapkan oleh penghulu di sebuah
acara pernikahan merupakan “the doing of some action”, dalam hal ini,
merupakan tindakan penghulu dalam menikahkan pasangan pengantin, bukan sekedar
perkataan belaka, atau “saying something”.
Ada dua jenis ujaran, menurut Austin, yaitu:
1.
Ujaran konstantif
Yaitu ujaran yang tidak melakukan tindakan dan dapat
diketahui salah-benarnya. Menurut Austin (1962), ujaran konstantif adalah jenis
ujaran yang melukiskan suatu keadaan faktual, yang isinya boleh jadi merujuk ke
suatu fakta atau kejadian historis yang benar-benar terjadi pada masa lalu. Contoh:
Kamu terlihat bahagia.
2.
Ujaran performatif
Yaitu ucapan yang berimplikasi dengan tindakan si penutur
sekalipun sulit diketahui salah-benarnya, tidak dapat ditentukan benar-salahnya
berdasarkan faktanya karena ujaran ini lebih berhubungan dengan perilaku atau
perbuatan si penutur.
Sumbangan terbesar Austin dalam teori tindak tutur adalah
pembedaan tindak lokusi, ilokusi dan perlokusi.. Austin (1962), mengemukakan
mengucapkan sesuatu adalah melakukan sesuatu dan bahasa atau tutur dapat
dipakai untuk membuat kejadin karena kebanyakn ujaran merupakan tindak tutur
yang mempunyai daya-daya. Daya-daya tersebut terangkum dalam tiga tindakan
secara bersamaan, yaitu (a) tindak lokusi (locutionary acts), tindak
ilokusi (illocutionary acts) dan tindak perlokusi (perlocutionary
acts). Daya lokusi suatu ujaran adalah makna dasar dan rerefensi oleh
ujaran itu, daya ilokusi adalah daya yang ditimbulkan oleh penggunaanya sebagai
perintah, ejekan, keluhan, janji, pujian dan sebagainya. Jadi daya ilokusi
merupakan fungsi tindak tutur yang inheren dalam tutur. Sedangkan daya
perlokusi adalah efek ujaran terhadap pendengarnya, baik nyata maupun
yangdiharapkan. Hal yang disebutkan terakhir ini, menurut Austin,
berkaitan dengan fungsi bahasa sebagai pemengaruh pikiran dan perasaan manusia.
Kendati demikian, ketiga tindak tutur tersebut merupakan satu kesatuan yang
koheren di dalam keseluruhan proses tindak pengungkapan bahasa sehingga
seharusnya mencerminkan prinsip adanya satu kata dan tindakan atau perbuatan(Sumarsono
dan Partana, 2004: 323). Berikut penjelasan
lebih rinci mengenai lokusi, ilokusi, dan perlokusi (Malmkjer, 200
1. Tindak lokusi, melakukan tindakan untuk
mengatakan sesuatu. Tindakan lokusi mengandung makna literal.
Contoh ‘Saya kedinginan, seseorang mengartikan ‘Saya’ sebagai orang
pertama tunggal (si penutur), dan ‘kedinginan ‘mengacu pada ‘kondisi tubuh yang
dingian dan perlu kehangatan’, tanpa bermaksud untuk meminta kehangatan.
Dengan kata lain, tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan
sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang
bermakna yang sesungguhnya. Dalam tindak lokusi, Austin membagi tiga
subjenis, yaitu:
a.
Tindak
fonik (phonic), yaitu dikeluarkannya bunyi atau phones
b.
Tindak
fatik (phatic) yaitu adanya phemes, bunyi-bunyi
tersebut memiliki kosakata dan mengikuti aturan tata bahasa tertentu (phemes).
c.
Tindak
retik (rhetic), yaitu adanya makna dan referensi (rhemes
Semua
tindak tersebut dilakukan pada saat melakukan tindak lokusi. Malmkjer (2006)
menyatakan bahwa setiap penutur melakukan tindak lokusi, dia juga melakukan
tindak ilokusi, misalnya menyatakan, memerintah, memuji dan
sebagainya.
2.
Tindak
ilokusi, melakukan suatu tindakan dengan mengatakan sesuatu. Pada tindak tutur
ilokusi, penutur menyatakan sesuatu dengan menggunakan suatu daya yang khas,
yang membuat si penutur bertindak sesuai dengan apa yang dituturkanya. Tindakan
ini mengandung makna yang berhubungan dengan fungsi sosial. Contoh “ saya
kedinginan.” Kalimat bila dituturkanpada ruang ber AC maka selain
memberitahu kondisi tubuh yang dingin juga berisi tindakan agar AC nya suhunya
diturunkan. Dengan adanya tuturan tersebut mitra tuturakan menjawab “ sebentar
AC nya akan saya kecilkan.
Austin membagi tindak ilokusi kedalam lima subjenis sebagai
berikut.
a.
verdiktif
(verdictives), tindak tutur yang ditandai oleh adanya keputusan yang
bertalian dengan benar-salah.
b.
Eksersitif
(exercitives), tindak tutur yang merupakan akibat adanya kekuasaan, hak,
atau pengaruh
c.
Komisif
(commissives), tindak tutur yang ditandai oleh adanya perjanjian atau
perbuatan yang menyebabkan si penutur melakukan sesuatu.
d.
Behavitif (behavitives),
tindak tutur yang mencerminkan kepedulian sosial atau rasa simpati
e.
Ekspositif
(expositives), tindak tutur yang digunakan dalam menyederhanakan
pengertian atau definisi, misalnya “bail out” itu ibarat seseorang
yang utang-nya kepada seseorang dibayari oleh orang lain yang tidak
dikenalrnya.”
3.
Tindak
perlokusi (Perlocutionary act), melakukan suatu tindakan dengan
mengatakan sesuatu. Tindak perlokusi menghasilkan efek atau hasil.
yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar, sesuai
dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat itu. Tanggapan tersebut tidak
hanya berbentuk kata-kata, tetapi juga berbentuk tindakan atau perbuatan. Efek
atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh
penuturnya.
B.
Tindak Tutur Versi Searle
Searle (dalam Rahardi, 2005: 35-36) menyatakan bahwa
dalam praktiknya terdapat tiga macam tindak tutur antara lain:
1. Tindak lokusioner
Adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan
kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu.
Kalimat ini dapat disebut sebagai the act of saying something. Dalam
lokusioner tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan
maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh si penutur. Jadi, tuturan “tanganku
gatal” misalnya, semata-mata hanya dimaksudkan memberitahukan si mitra
tutur bahwa pada saat dimunculkannya tuturan itu tangan penutur sedang dalam
keadaan gatal.
Sedangkan menurut Malmkjer
(2005), jika Austin membagi tiga tindak tutur, Searle membaginya menjadi 4
tindak tutur. Dalam tindak lokusioner khususnya, Austin membaginya menjadi
tiga, sedangkan Searle membaginya menjadi dua, yaitu:
1.
Tindak ujar (utterance act), yaitu mengujarkan
kata (morfem kalimat). Tindak tutur ini mencakup dua tindak tutur lokusi dari
Austin.
2.
Tindak
preposisi (prepositional act), yaitu merujuk dan memprediksi. Tindak ini
merupakan tindak lokusi ketiga pada Austin. Tindak tutur jenis inilah yang
kemudian akan diekspresikan melalui tindak ilokusi dan perlokusi.
2. Tindak ilokusioner
Adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud
dan fungsi tertentu pula. Tindak tutur ini dapat dikatakan sebagai the act
of doing something. Tuturan “tanganku gatal” diucapkan penutur bukan
semata-mata dimaksudkan untuk memberitahukan mitra tutur bahwa pada saat
dituturkannya tuturan tersebut, rasa gatal sedang bersarang pada tangan
penutur, namun lebih dari itu bahwa penutur menginginkan mitra tutur melakukan
tindakan tertentu berkaitan dengan rasa gatal pada tangan penutur, misalnya
mitra tutur mengambil balsem.
3. Tindakan perlokusi
Adalah tindak
menumbuh pengaruh (effect) kepada mitra tutur. Tindak tutur ini disebut
dengan the act of affecting someone. Tuturan “tanganku gatal”, misalnya
dapat digunakan untuk menumbuhkan pengaruh (effect) rasa takut kepada
mitra tutur. Rasa takut itu muncul, misalnya, karena si penutur itu berprofesi
sebagai seseorang tukang pukul yang pada kesehariannya sangat erat dengan
kegiatan memukul dan melukai orang lain.
Selanjutnya, Searle (dalam
Rahardi, 2005:36) menggolongkan tindak tutur ilokusi itu ke dalam lima macam
bentuk tuturan yang masing-masing memiliki fungsi komunikatif. Kelima macam
bentuk tuturan yang menunjukkan fungsi itu dapat dirangkum sebagai berikut:
1.
Asertif (Assertives),
yakni bentuk tuturan
yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya
menyatakan (stating), menyarankan (suggesting), menbual (boasting),
mengeluh (complaining), dan mengklaim (claiming).
2.
Direktif (Directives),
yakni bentuk tuturan yang
dimaksudkan penuturannya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan
tindakan, misalnya, memesan (orderin), memerintah (commanding),
memohon (requesting), menasehati (advising), dan merekomendasi (recommending).
3. Ekspresif (Expressives)
adalah bentuk tuturan
yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur
terhadap suatu keadaan, misalnya berterima kasih (thanking), memberi
selamat (congratulating), meminta maaf (pardoning), menyalahkan (blambing),
memuji (praising), berbelasungkawa (condoling).
4. Komisif (Commissives),
yakni bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan
janji atau penawaran, misalnya berjanji (promising), bersumpah (vowing),
dan menawarkan sesuatu (offering)
5. Deklarasi (Declarations),
Yaitu bentuk tuturan
yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataan, misalnya berpasrah (resigning),
memecat (dismissing), menbaptis (chistening), memberi nama (naming),
mengangkat (appointing), mengucilkan (excommicating), dan
menghukum (sentencing).
SEMOGA BERMANFAAT
http://laukhilmahfidiyah.blogspot.com/
Makasih banyak yah.... ini sangat membantu :)
BalasHapusterima kasih atas ilmunya
BalasHapus