STKIP PGRI JOMBANG ( PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA 2012 C )

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 12 April 2015

Tindak Tutur (Kajian Wacana Bahasa Indonesia)



Tindak Tutur
J.L. Austin dan J.R. Searly

A.    Tindak Tutur Versi Austin
Teori tindak tutur muncul sebagai reaksi terhadap ‘descriptive fallacy’, yaitu pandangan bahwa kalimat deklaratif selalu digunakan untuk mendeskripsikan fakta atau ‘state of affairs‘, yang harus dilakukan secara benar atau secara salah (Malmkjer, 2006: 560). Padahal, menurut Austin, banyak kalimat deklaratif yang tidak mendeskripsikan, melaporkan, atau menyatakan apapun, sehingga tidak bisa dinyatakan benar-salahnya. Ujaran dari kalimat tersebut adalah (bagian dari) kegiatan/tindakan. Misalnya, kalimat “Saya nikahkan … dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.” yang diucapkan oleh penghulu di sebuah acara pernikahan merupakan “the doing of some action”, dalam hal ini, merupakan tindakan penghulu dalam menikahkan pasangan pengantin, bukan sekedar perkataan belaka, atau “saying something”.
Ada dua jenis ujaran, menurut Austin, yaitu:
1.         Ujaran konstantif
Yaitu ujaran yang tidak melakukan tindakan dan dapat diketahui salah-benarnya. Menurut Austin (1962), ujaran konstantif adalah jenis ujaran yang melukiskan suatu keadaan faktual, yang isinya boleh jadi merujuk ke suatu fakta atau kejadian historis yang benar-benar terjadi pada masa lalu. Contoh: Kamu terlihat bahagia.
2.        Ujaran performatif
Yaitu ucapan yang berimplikasi dengan tindakan si penutur sekalipun sulit diketahui salah-benarnya, tidak dapat ditentukan benar-salahnya berdasarkan faktanya karena ujaran ini lebih berhubungan dengan perilaku atau perbuatan si penutur.
Sumbangan terbesar Austin dalam teori tindak tutur adalah pembedaan tindak lokusi, ilokusi dan perlokusi.. Austin (1962), mengemukakan mengucapkan sesuatu adalah melakukan sesuatu dan bahasa atau tutur dapat dipakai untuk membuat kejadin karena kebanyakn ujaran merupakan tindak tutur yang mempunyai daya-daya. Daya-daya tersebut terangkum dalam tiga tindakan secara bersamaan, yaitu (a) tindak lokusi (locutionary acts), tindak ilokusi (illocutionary acts) dan tindak perlokusi (perlocutionary acts). Daya lokusi suatu ujaran adalah makna dasar dan rerefensi oleh ujaran itu, daya ilokusi adalah daya yang ditimbulkan oleh penggunaanya sebagai perintah, ejekan, keluhan, janji, pujian dan sebagainya. Jadi daya ilokusi merupakan fungsi tindak tutur yang inheren dalam tutur. Sedangkan daya perlokusi adalah efek ujaran terhadap pendengarnya, baik nyata maupun yangdiharapkan. Hal yang disebutkan terakhir ini, menurut Austin, berkaitan dengan fungsi bahasa sebagai pemengaruh pikiran dan perasaan manusia. Kendati demikian, ketiga tindak tutur tersebut merupakan satu kesatuan yang koheren di dalam keseluruhan proses tindak pengungkapan bahasa sehingga seharusnya mencerminkan prinsip adanya satu kata dan tindakan atau perbuatan(Sumarsono dan Partana, 2004: 323). Berikut penjelasan lebih rinci mengenai lokusi, ilokusi, dan perlokusi (Malmkjer, 200
1.      Tindak lokusi, melakukan tindakan untuk mengatakan sesuatuTindakan lokusi mengandung makna literal. Contoh ‘Saya kedinginan, seseorang mengartikan ‘Saya’ sebagai orang pertama tunggal (si penutur), dan ‘kedinginan ‘mengacu pada ‘kondisi tubuh yang dingian dan perlu kehangatan’, tanpa bermaksud untuk meminta kehangatan. Dengan kata lain, tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna yang sesungguhnya. Dalam tindak lokusi, Austin membagi tiga subjenis, yaitu:
a.        Tindak fonik (phonic), yaitu dikeluarkannya bunyi atau phones
b.        Tindak fatik (phatic) yaitu adanya phemes, bunyi-bunyi tersebut memiliki kosakata dan mengikuti aturan tata bahasa tertentu (phemes).
c.        Tindak retik (rhetic), yaitu adanya makna dan referensi (rhemes

Semua tindak tersebut dilakukan pada saat melakukan tindak lokusi. Malmkjer (2006) menyatakan bahwa setiap penutur melakukan tindak lokusi, dia juga melakukan tindak ilokusi, misalnya menyatakan, memerintah, memuji dan sebagainya.
2.      Tindak ilokusi, melakukan suatu tindakan dengan mengatakan sesuatu. Pada tindak tutur ilokusi, penutur menyatakan sesuatu dengan menggunakan suatu daya yang khas, yang membuat si penutur bertindak sesuai dengan apa yang dituturkanya. Tindakan ini mengandung makna yang berhubungan dengan fungsi sosial. Contoh “ saya kedinginan.” Kalimat bila dituturkanpada ruang ber AC maka  selain memberitahu kondisi tubuh yang dingin juga berisi tindakan agar AC nya suhunya diturunkan. Dengan adanya tuturan tersebut mitra tuturakan menjawab “ sebentar AC nya akan saya kecilkan.
Austin membagi tindak ilokusi kedalam lima subjenis sebagai berikut.
a.        verdiktif (verdictives), tindak tutur yang ditandai oleh adanya keputusan yang bertalian dengan benar-salah.
b.        Eksersitif (exercitives), tindak tutur yang merupakan akibat adanya kekuasaan, hak, atau pengaruh
c.        Komisif (commissives), tindak tutur yang ditandai oleh adanya perjanjian atau perbuatan yang menyebabkan si penutur melakukan sesuatu.
d.       Behavitif (behavitives), tindak tutur yang mencerminkan kepedulian sosial atau rasa simpati
e.        Ekspositif (expositives), tindak tutur yang digunakan dalam menyederhanakan pengertian atau definisi, misalnya “bail out” itu ibarat seseorang yang utang-nya kepada seseorang dibayari oleh orang lain yang tidak dikenalrnya.”
3.      Tindak perlokusi (Perlocutionary act), melakukan suatu tindakan dengan mengatakan sesuatu. Tindak perlokusi menghasilkan efek atau hasil. yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar, sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat itu. Tanggapan tersebut tidak hanya berbentuk kata-kata, tetapi juga berbentuk tindakan atau perbuatan. Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya.
B.    Tindak Tutur Versi Searle
Searle (dalam Rahardi, 2005: 35-36) menyatakan bahwa dalam praktiknya terdapat tiga macam tindak tutur antara lain:
1.      Tindak lokusioner
Adalah  tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Kalimat ini dapat disebut sebagai the act of saying something. Dalam lokusioner tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh si penutur. Jadi, tuturan “tanganku gatal” misalnya, semata-mata hanya dimaksudkan memberitahukan si mitra tutur bahwa pada saat dimunculkannya tuturan itu tangan penutur sedang dalam keadaan gatal.
Sedangkan menurut Malmkjer (2005), jika Austin membagi tiga tindak tutur, Searle membaginya menjadi 4 tindak tutur. Dalam tindak lokusioner khususnya, Austin membaginya menjadi tiga, sedangkan Searle membaginya menjadi dua, yaitu:
1.             Tindak ujar (utterance act), yaitu mengujarkan kata (morfem kalimat). Tindak tutur ini mencakup dua tindak tutur lokusi dari Austin.
2.             Tindak preposisi (prepositional act), yaitu merujuk dan memprediksi. Tindak ini merupakan tindak lokusi ketiga pada Austin. Tindak tutur jenis inilah yang kemudian akan diekspresikan melalui tindak ilokusi dan perlokusi.
2.      Tindak ilokusioner
 Adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula. Tindak tutur ini dapat dikatakan sebagai the act of doing something. Tuturan “tanganku gatal” diucapkan penutur bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberitahukan mitra tutur bahwa pada saat dituturkannya tuturan tersebut, rasa gatal sedang bersarang pada tangan penutur, namun lebih dari itu bahwa penutur menginginkan mitra tutur melakukan tindakan tertentu berkaitan dengan rasa gatal pada tangan penutur, misalnya mitra tutur mengambil balsem.
3.      Tindakan perlokusi
Adalah tindak menumbuh pengaruh (effect) kepada mitra tutur. Tindak tutur ini disebut dengan the act of affecting someone. Tuturan “tanganku gatal”, misalnya dapat digunakan untuk menumbuhkan pengaruh (effect) rasa takut kepada mitra tutur. Rasa takut itu muncul, misalnya, karena si penutur itu berprofesi sebagai seseorang tukang pukul yang pada kesehariannya sangat erat dengan kegiatan memukul dan melukai orang lain.
Selanjutnya, Searle (dalam Rahardi, 2005:36) menggolongkan tindak tutur ilokusi itu ke dalam lima macam bentuk tuturan yang masing-masing memiliki fungsi komunikatif. Kelima macam bentuk tuturan yang menunjukkan fungsi itu dapat dirangkum sebagai berikut:
1.         Asertif (Assertives),
yakni bentuk tuturan yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya menyatakan (stating), menyarankan (suggesting), menbual (boasting), mengeluh (complaining), dan mengklaim (claiming).
2.        Direktif (Directives),
yakni bentuk tuturan yang dimaksudkan penuturannya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan, misalnya, memesan (orderin), memerintah (commanding), memohon (requesting), menasehati (advising), dan merekomendasi (recommending).
3.      Ekspresif (Expressives)
adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya berterima kasih (thanking), memberi selamat (congratulating), meminta maaf (pardoning), menyalahkan (blambing), memuji (praising), berbelasungkawa (condoling).
4.    Komisif (Commissives),
yakni bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran, misalnya berjanji (promising), bersumpah (vowing), dan menawarkan sesuatu (offering)
5.      Deklarasi (Declarations),
Yaitu bentuk tuturan yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataan, misalnya berpasrah (resigning), memecat (dismissing), menbaptis (chistening), memberi nama (naming), mengangkat (appointing), mengucilkan (excommicating), dan menghukum (sentencing).


SEMOGA BERMANFAAT

http://laukhilmahfidiyah.blogspot.com/

2 komentar:

JAM ANALOG

 

Blogger news

Blogroll

About