PRAANGGAPAN, IMPLIKATUR, INFERENSI, REFERENSI
DAN DEIKSIS
Pengantar
Apakah yang dimaksud dengan Pragmatik?
Pragmatik merupakan bagian dari ilmu bahasa (linguistic) yang mempelajari makna
tuturan penutur (speaker’s meaning), makna yang berhubungan dengan konteks (contextual
meaning), menelaah maksud penutur yang lebih banyak dari pada apa yang
dituturkan oleh penutur (implicature), memahami manipulasi bahasa untuk
kesopanan (politeness), memahami anggapan-anggapan dalam tuturan dan kalimat
(pre-supposition and entailment), mengetahui bagaimana manusia bertindak dengan
menggunakan medium bahasa (speech act) dan kesemuaannya itu bertumpu pada satu
makna yang mungkin akan diragukan oleh para linguis dan pragmatisis, yaitu
“ilmu yang mempelajari makna, menciptakan makna dan mengubah makna realitas
yang terkandung tiap-tiap tuturan, tindakan dan peristiwa bahasa”.
Substansi dari Pragmatik adalah “makna
bahasa”; bagaimana manusia menciptakan, mengubah dan menelaah sesuatu dan
membuatnya menjadi bermakna. Kehadiran Pragmatik dianggap sebagai pelengkap
dari elemen-elemen linguistik yang lain, yang dipandang masih belum sempurna,
yaitu sintaks dan semantik. Sintak dan Semantik sama-sama merupakan ilmu
konstruksi dan konkretisasi kalimat; dalam pandangan yang simpel bisa kita asumsikan
bahwa ”makna kalimat ditentukan oleh struktur kalimat” dan secara paradoksal
bisa juga diasumsikan bahwa “makna kalimat menentukan struktur kalimat”. Jika
anda ingin menyampaikan bahwa anda sedang lapar dan ingin makan, secara
sintaksis dan sematis anda harus merancang kalimat seperti ini “Saya lapar,
saya ingin mencari makan”. Tetapi, dalam kenyataannya, kita tidak selalu
menggunakan ekspresi yang sedemikian rupa, untuk menyatakan hal tersebut, bisa
saja kita berkata “Waduh, dimana warung terdekat ya?”, atau “Udah jam makan
siang nih”, atau dengan ekspresi lain. Ini memang menunjukkan bahwa bahasa
dalam penggunaannya (language in use) tidak terikat oleh
strukturasi-strukturasi sintaktik dan Semantik. Jika ekspresi seperti “waduh,
dimana warung terdekat” ini ditelaah secara sintaktik atau Semantik,
kemungkinan besar akan terjadi miskonsepsi terhadap makna yang ingin
disampaikan oleh penutur, oleh karena itu Pragmatik diperkenalkan dan
dikembangkan pada masyarakat dunia oleh para pakar dari barat seperti Austin,
Yan Huang, George Yule, dan sebagainya.
Ada pertanyaan yang tiba-tiba mencuat
akhir-akhir ini, apakah Pragmatik sudah sangat sempurna? Karena dalam
kajiannya, saya secara pribadi, menemukan beberapa kejanggalan di dalam
literatur Pragmatik itu sendiri, misalnya buku Pragmatik karya George Yule,
kemudian judul yang sama dengan penulis dan organisasi topik yang berbeda oleh
Yan Huang, dan kemudian bukunya Jenny Thomas yang berjudul Meaning in
Interaction. Beberapa kejanggalan itulah yang akan saya paparkan dalam tulisan
kali ini, semoga anda tindak lanjuti kemudian hari. Beberapa persoalan di dalam
kajian Pragmatik adalah berhubungan dengan penggunaan istilah, konsepsi dan
percontohan yang tidak realistis, pengelompokan fungsi bahasa yang membuang-buang
waktu dan beberapa persoalan kecil lainnya. Pentingnya hal ini dibicarakan
adalah untuk membuka wacana baru, mengajak kita berpikir lebih kritis dan tentu
saja menjaga kita dari kesesatan. Dalam tulisan ini, saya berlandaskan
pengalaman berbahasa kita sehari-hari yang tentu saja tidak jauh berbeda. Saya
berharap ada respon yang menarik dan konstruktif dari pembaca demi pengembangan
pemikiran kita mengenai bagian hidup kita yang satu ini, yakni kesadaran
berbahasa yang lebih baik.
A. PRAANGGAPAN
Praanggapan (presuposisi) berasal dari kata to
pre-suppose, yang dalam bahasa Inggris berarti to suppose beforehand (menduga
sebelumnya), dalam arti sebelum pembicara atau penulis mengujarkan sesuatu ia
sudah memiliki dugaan sebelumnya tentang kawan bicara atau hal yang
dibicarakan.
Selain definisi tersebut, beberapa definisi lain tentang
praanggapan di antaranya adalah George Yule (2006:43) menyatakan bahwa
praanggapan atau presupposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur
sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Yang memiliki presuposisi
adalah penutur bukan kalimat. Louise Cummings (1999: 42) menyatakan bahwa
praanggapan adalah asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam
ungkapan-ungkapan linguistik tertentu. Nababan (1987:46), memberikan pengertian
praanggapan sebagai dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi
berbahasa (menggunakan bahasa) yang membuat bentuk bahasa (kalimat atau
ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar atau penerima bahasa itu dan
sebaliknya, membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa yang dapat
dipakainya untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud.
Dari beberapa definisi praanggapan di atas dapat
disimpulkan bahwa praanggapan adalah kesimpulan atau asumsi awal penutur
sebelum melakukan tuturan bahwa apa yang akan disampaikan juga dipahami oleh
mitra tutur.
Untuk memperjelas hal
ini, perhatikan contoh berikut :
a : “Aku sudah membeli
bukunya Pak Udin kemarin”
b : “Dapat potongan 30
persen kan?”
Contoh percakapan di
atas menunjukkan bahwa sebelum bertutur (a) memiliki praanggapan
bahwa (b) mengetahui maksudnya yaitu terdapat sebuah buku yang
ditulis oleh Pak Pranowo.
Kesalahan membuat praanggapan efek dalam ujaran manusia.
Dengan kata lain, praanggapan yang tepat dapat mempertinggi nilai komunikatif
sebuah ujaran yang diungkapkan. Makin tepat praanggapan yang dihipotesiskan, makin tinggi nilai komunikatif sebuah ujaran
yang diungkapkan.
Contoh:
(a) “Ayah saya datang
dari Surabaya”.
(b) “Minuman nya sudah selesai”.
Dari contoh (a) praanggapan adalah: (1) saya
mempunyai ayah; (2) Ayah ada disurabaya. Pada contoh (b) praanggapannya adalah silahkan diminum. Oleh karena
itu, fungsi praanggapan ialah membantu mengurangi hambatan respons orang
terhadap penafsiran suatu ujaran.
1.
Jenis-jenis Praanggapan
Praanggapan
(presuposisi) sudah diasosiasikan dengan pemakaian sejumlah besar kata, frasa,
dan struktur (Yule, 2006:46). Selanjutnya Gorge Yule mengklasifikasikan
praanggapan ke dalam 6 jenis praanggapan,
yaitu presuposisi eksistensial, presuposisi faktif, presuposisi
non-faktif, presuposisi leksikal, presuposisi struktural, dan presuposisi
konterfaktual.
Ø Presuposisi Esistensial
Presuposisi
(praanggapan) eksistensial adalah preaanggapan yang menunjukkan eksistensi/
keberadaan/ jati diri referen yang diungkapkan dengan kata yang definit.
a. Orang itu berjalan
b. Ada orang berjalan
Ø Presuposisi Faktif
Presuposisi
(praanggapan) faktif adalah praanggapan di mana informasi yang dipraanggapkan
mengikuti kata kerja dapat dianggap sebagai suatu kenyataan.
a. Dia tidak menyadari
bahwa ia sakit
b. Dia sakit
Ø Presuposisi Leksikal
Presuposisi
(praanggapan) leksikal dipahami sebagai bentuk praanggapan di mana makna yang
dinyatakan secara konvensional ditafsirkan dengan praanggapan bahwa suatu makna
lain (yang tidak dinyatakan) dipahami.
a. Dia berhenti merokok
b. Dulu dia biasa merokok
Ø Presuposisi Non-faktif
Presuposisi
(praanggapan) non-faktif adalah suatu praanggapan yang diasumsikan tidak benar.
a. Saya membayangkan berada di Hawai
b. Saya tidak berada di Hawai
Ø Presuposisi Struktural
Presuposisi (praanggapan) struktural mengacu pada
sturktur kalimat-kalimat tertentu telah dianalisis sebagai praanggapan secara
tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah diasumsikan
kebenarannya. Hal ini tampak dalam kalimat tanya, secara konvensional
diinterpretasikan dengan kata tanya (kapan dan di mana) seudah diketahui
sebagai masalah.
a. Kapan dia pergi?
b. Dia pergi
Ø Presuposisi konterfaktual
Presuposisi (praanggapan) konterfaktual berarti bahwa
yang di praanggapkan tidak hanya tidak benar, tetapi juga merupakan kebalikan
(lawan) dari benar atau bertolak belakang dengan kenyataan.
a. Seandainya ibu kota Jawa Barat ada di
Sumedang.
b. Ibu kota Jawa Barat bukan di Sumedang.
B. IMPLIKATUR
Konsep implikatur
kali pertama dikenalkan oleh H.P. Grice (1975) untuk memecahkan persoalan makna bahasa yang tidak dapat
diselesaikan oleh teori semantik biasa. Implikatur dipakai untuk
memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang dimaksud oleh penutur sebagai
hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah (Brown dan Yule 1983:1). Makna tersirat
(implied meaning) atau implikatur adalah makna atau pesan yang tersirat dalam
ungkapan lisan dan atau wacana tulis. Kata lain implikatur adalah ungkapan
secara tidak langsung yakni makna ungkapan tidak tercermin dalam kosa kata
secara literal. Dalam pemakaian bahasa terdapat implikatur yang disebut
implikatur konvensional, yaitu implikatur yang ditentukan oleh ‘arti
konvensional kata-kata yang dipakai’.
Contoh:
a. Dia orang Palembang
karena itu dia pemberani.
Pada contoh (a) tersebut, penutur tidak secara langsung menyatakan
bahwa suatu ciri (pemberani) disebabkan oleh ciri lain (jadi orang Palembang),
tetapi bentuk ungkapan yang dipakai secara konvensional berimplikasi bahwa
hubungan seperti itu ada. Kalau individu itu dimaksud orang Palembang dan tidak
pemberani, implikaturnya yang keliru tetapi ujaran tidak salah.
Ada
empat macam faedah konsep implikatur, yaitu
a. Dapat memberikan penjelasan makna atau
fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori-teori linguistik.
b. Dapat memberikan penjelasan yang tegas
tentang perbedaan lahiriah dari yang dimaksud si pemakai bahasa.
c. Dapat memberikan pemberian semantik yang
sederhana tentang hubungan klausa yang
dihubungkan denagn kata penghubung yang sama.
d. Dapat memberikan berbagi fakta yang secara
lahiriah kelihatan tidak berkaitan, malah berlawanana (seperti metafora).
Ø Jenis-jenis Implikatur
1. Implikatur Percakapan
Asumsi dasar percakapan adalah jika tidak ditunjukan
sebaliknya bahwa peserta tuturnya mengikuti maksim-maksim prinsip kerja sama.
Maksim adalah pernyataan ringkas yang mengandung ujaran atau kebenaran umum
tentang sifat-sifat manusia. Untuk memperjelas, berikut contohnya:
Lisa:
Nanti, kamu bawakan aku kue pelangi dan jus jeruk, ya.
Mona:
Oke, aku akan bawakan kamu kue pelangi
Pada contoh tuturan di atas, Lisa berasumsi bahwa Mona
melakukan kerja sama. Namun, Mona tidak sadar sepenuhnya maksud Lisa tentang
maksim kuantitas karena Mona tidak menyebutkan jus jeruk. Jika membawakan jus
jeruk, maka Mona akan mengatakannya karena ia ingin memenuhi maksim kuantitas.
Lisa seharusnya menyimpulkan bahwa apa yang dia katakan melalui suatu
implikatur percakapan. Sebab, penuturlah yang menyampaikan makna melalui
implikatur dan sosok yang mengenali makna-makna yang disampaikan lewat
inferensi.
2. Implikatur Percakapan Umum
Implikatur percakapan khusus tidak dipersyaratkan untuk
memperhitungkan makna tambahan yang disampaikan, maka disebut implikatur
percakapan umum.
Contoh:
Pada suatu hari saya duduk di sebuah taman. Sepasang kekasih pun duduk di salah
satu bangku taman itu.
Contoh implikatur pada tuturan di atas adalah bahwa taman
dan pasangan kekasih bukanlah milik penutur dan tak dikenali penutur. Apabila
penutur lebih spesifik menuturkan, maka bisa jadi kebun dan sepasang kekasih
yang dimaksudkannya dikenalinya. Misalnya, Pada suatu hari saya duduk di
tamanku. Sepasang kekasih yang kukenalpun duduk di salah satu bangku tamanku
itu.
3. Implikatur Berskala
Informasi selalu disampaikan dengan memilih sebuah kata yang
menyatakan suatu nilai dari suatu skala nilai.Ini secara khusus tampak jelas
dalam istilah-istilah untuk mengungkapkan kuantitas, seperti yang ditunjukkan
dalam sebuah skala, ketika istilah-istilah itu didaftar dari skala nilai
tertinggi ke nilai terendah.
Contohnya:
semua,
sebagian besar, banyak, beberapa, sedikit selalu, sering, kadang-kadang.
"Saya
sedang belajar ilmu bahasa dan saya telah melengkapi beberapa mata kuliah yang
dipersyaratkan."
Dengan memilih kata "beberapa" dalam contoh
tuturan di atas penutur menciptakan suatu implikatur. Ini yang disebut
implikatur berskala. Implikatur berskala adalah semua bentuk negatif dari skala
yang lebih tinggi yang dilibatkan apabila dalam skala itu dinyatakan.
4. Implikatur Percakapan Khusus
Pada sebuah percakapan, implikatur telah diperhutangkan
tanda adanya pengetahuan khusus terhadap konteks tertentu. Akan tetapi,
seringkali percakapan kita terjadi dalam konteks yang sangat khusus.
Inferensi-inferensi yang demikian dipersyaratkan untuk menentukan maksud yang
disampaikan menghasilkan implikatur percakapan khusus.
Mira: Apakah kamu suka es krim?
Anton: Apa itu Magnum Gold?
Mira bertanya apakah lawan tuturnya menyukai es krim atau
tidak. Akan tetapi, Anton sebagai lawan tutur tidak menjawab ya atau tidak. Namun,
keduanya melakukan kerja sama. Mira tidak memerlukan jawaban ya, namun sudah
mengerti kalau Anton menyukai es krim karena menyebutkan merek es krim
terkenal. Artinya, Anton menunjukkan ketertarikan terhadap es krim.
5. Implikatur Konvensional
Implikatur konvensional tidak didasarkan pada prinsip
kerja sama atau maksim-maksim. Implikatur konvensional tidak harus terjadi
dalam percakapan,dan tidak langsung pada konteks khusus untuk
mengiterpretasikannya. Implikatur konvensional diasosiasikan dengan kata-kata
khusus dan menghasilkan maksud tambahan apabila yang disampaikan apabila
kata-kata itu digunakan. Kata penghubung "tetapi" adalah salah satu
kata-kata ini.
Contoh;
Indi menyarankan warna hitam, tetapi saya
ingin warna putih.
Pada contoh di atas, kenyataan bahwa Indi menyarankan
warna hitam, bertolak belakang dengan pilihan saya warna putih. Melalui
implikatur konvensional 'tetapi'. Hal ini terjadi dalam pemakaian bahasa
biasanya terdapat implikatur yang disebut implikatur konvensional, yaitu
implikatur yang ditentukan oleh ‘arti konvensional kata-kata yang dipakai’.
C. KATA
DAN RUJUKAN (DEIKSIS, REFERENSI DAN INFERENSI)
Deiksis adalah istilah yang
berasal dari bahasa Yunani yang berarti “penunjukan”. Sehingga ungkapan yang
menunjukan kepada suatu objek disebut dengan ungkapan deiksis (Yule, 1996).
Misalnya kita menggunakan ungkapan yang
mengandung kata “ini”, “itu”, “-mu”, “-ku”, “-nya”, “disini”, “disana”,
“sekarang”, “tadi”, “kemudian”, maka ungkapan itu menjadi ungkapan deiksis.
Deiksis, di dalam Pragmatik dibagi menjadi deiksis persona (jika merujuk pada
kepunyaan atau kedirian), deiksis jarak/spasial (jika menunjukan jarak),
deiksis waktu (jika ungkapan itu menggambarkan waktu atau tenses), deiksis
tempat (jika ,merujuk pada suatu tempat) yang sebenarnya bisa saja dimerger
menjadi satu dengan deiksis spasial. Adapun variabel-variabel yang bermain
dalam deiksis adalah referensi dan inferensi. Referensi adalah rujukan yang
dimaksud oleh penutur deiksis, sementara itu inferensi konsep yang kurang lebih
harus sama dengan referensi tetapi ada dalam pikiran pendengar. Setiap kata
atau ungkapan deiksis yang dituturkan itu merujuk pada objek atau pengertian
tertentu (reference) dan pendengar harus memiliki pengetahuan mengenai apa yang
dirujuk oleh tuturan itu (inference). Dalam upaya untuk mencerna referensi
penutur, pendengar harus memperhatikan pilihan kata yang digunakan oleh penutur
sekaligus mensingkronkan makna kata tersebut dengan gestur penutur (Huang,
2007). Misalnya penutur menggunakan deiksis spasial “itu” seraya menggunakan
jari telunjuk, wajah, mata atau yang lain untuk membantu pendengar mengetahui
referensi yang dimaksud. Akan tetapi, dapatkah itu terjadi jika ungkapan
deiksis itu digunakan atau diproduksi lewat alat komunikasi tak langsung
seperti telepon, surat, SMS, dan sebagainya? Huang (2007:134) menyebutkan bahwa
gestur merupakan penggunaan dasar dan simbol seperti kata merupakan penggunaan
yang lebih luas. Kedua (gestur dan simbol) memang saling membantu satu sama
lain, agar ungkapan dapat dimengerti. Tetapi satu hal yang dilupakan oleh kedua
pakar ini adalah kondisi skemata pendengar (addressee) yang juga bermain peran
sangat penting dalam penelaahan inferensi. Skemata pendengar yang berasal dari
pengalaman dialogis (pengalaman-pengalaman yang saling berhubungan)seharusnya
mendapatkan perhatian yang lebih penting daripada sekedar membahas bagaimana
memproduksi ungkapan deiksis. Anda bisa saja mengatakan berulang-ulang “the
goheba then flies crossing the mountain” kepada seorang teman Australia, tetapi
jangan harap kata “goheba” itu memberikan sebuah arti kepada teman anda, hingga
teman anda memahami bahwa “goheba” adalah “burung” berkat frase “flies crossing
the mountain”. Teman anda pasti mempunyai pengalaman bahwa burung bisa terbang,
tetapi pesawat juga bisa terbang. Bagaimana bisa dia menentukan bahwa “goheba”
itu burung dan bukan pesawat?, disinilah teman anda membutuhkan pengalaman yang
lebih dari sekedar mencerna kalimat-kalimat anda. Skemata pengetahuannya harus
dibangun melalui pertanyaan “what do you mean with goheba?” disini jelas bahwa
skemata pengetahuan pendengar berperan sangat penting dalam hal mencerna
ungkapan deiksis. Buat apa ungkapan deiksis digunakan atau dirumuskan, jika
tidak dijelaskan variabel-variabel penting yang bisa menjelaskan makna-makna
ungkapan deiksis itu bisa dicerna?
SEMOGA BERMANFAAT
http://laukhilmahfidiyah.blogspot.com/
0 komentar:
Posting Komentar