STKIP PGRI JOMBANG ( PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA 2012 C )

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 17 April 2015

Pragmatik

PRAANGGAPAN, IMPLIKATUR, INFERENSI, REFERENSI DAN DEIKSIS

Pengantar

Apakah yang dimaksud dengan Pragmatik? Pragmatik merupakan bagian dari ilmu bahasa (linguistic) yang mempelajari makna tuturan penutur (speaker’s meaning), makna yang berhubungan dengan konteks (contextual meaning), menelaah maksud penutur yang lebih banyak dari pada apa yang dituturkan oleh penutur (implicature), memahami manipulasi bahasa untuk kesopanan (politeness), memahami anggapan-anggapan dalam tuturan dan kalimat (pre-supposition and entailment), mengetahui bagaimana manusia bertindak dengan menggunakan medium bahasa (speech act) dan kesemuaannya itu bertumpu pada satu makna yang mungkin akan diragukan oleh para linguis dan pragmatisis, yaitu “ilmu yang mempelajari makna, menciptakan makna dan mengubah makna realitas yang terkandung tiap-tiap tuturan, tindakan dan peristiwa bahasa”.
Substansi dari Pragmatik adalah “makna bahasa”; bagaimana manusia menciptakan, mengubah dan menelaah sesuatu dan membuatnya menjadi bermakna. Kehadiran Pragmatik dianggap sebagai pelengkap dari elemen-elemen linguistik yang lain, yang dipandang masih belum sempurna, yaitu sintaks dan semantik. Sintak dan Semantik sama-sama merupakan ilmu konstruksi dan konkretisasi kalimat; dalam pandangan yang simpel bisa kita asumsikan bahwa ”makna kalimat ditentukan oleh struktur kalimat” dan secara paradoksal bisa juga diasumsikan bahwa “makna kalimat menentukan struktur kalimat”. Jika anda ingin menyampaikan bahwa anda sedang lapar dan ingin makan, secara sintaksis dan sematis anda harus merancang kalimat seperti ini “Saya lapar, saya ingin mencari makan”. Tetapi, dalam kenyataannya, kita tidak selalu menggunakan ekspresi yang sedemikian rupa, untuk menyatakan hal tersebut, bisa saja kita berkata “Waduh, dimana warung terdekat ya?”, atau “Udah jam makan siang nih”, atau dengan ekspresi lain. Ini memang menunjukkan bahwa bahasa dalam penggunaannya (language in use) tidak terikat oleh strukturasi-strukturasi sintaktik dan Semantik. Jika ekspresi seperti “waduh, dimana warung terdekat” ini ditelaah secara sintaktik atau Semantik, kemungkinan besar akan terjadi miskonsepsi terhadap makna yang ingin disampaikan oleh penutur, oleh karena itu Pragmatik diperkenalkan dan dikembangkan pada masyarakat dunia oleh para pakar dari barat seperti Austin, Yan Huang, George Yule, dan sebagainya.
Ada pertanyaan yang tiba-tiba mencuat akhir-akhir ini, apakah Pragmatik sudah sangat sempurna? Karena dalam kajiannya, saya secara pribadi, menemukan beberapa kejanggalan di dalam literatur Pragmatik itu sendiri, misalnya buku Pragmatik karya George Yule, kemudian judul yang sama dengan penulis dan organisasi topik yang berbeda oleh Yan Huang, dan kemudian bukunya Jenny Thomas yang berjudul Meaning in Interaction. Beberapa kejanggalan itulah yang akan saya paparkan dalam tulisan kali ini, semoga anda tindak lanjuti kemudian hari. Beberapa persoalan di dalam kajian Pragmatik adalah berhubungan dengan penggunaan istilah, konsepsi dan percontohan yang tidak realistis, pengelompokan fungsi bahasa yang membuang-buang waktu dan beberapa persoalan kecil lainnya. Pentingnya hal ini dibicarakan adalah untuk membuka wacana baru, mengajak kita berpikir lebih kritis dan tentu saja menjaga kita dari kesesatan. Dalam tulisan ini, saya berlandaskan pengalaman berbahasa kita sehari-hari yang tentu saja tidak jauh berbeda. Saya berharap ada respon yang menarik dan konstruktif dari pembaca demi pengembangan pemikiran kita mengenai bagian hidup kita yang satu ini, yakni kesadaran berbahasa yang lebih baik.

A.   PRAANGGAPAN
Praanggapan (presuposisi) berasal dari kata to pre-suppose, yang dalam bahasa Inggris berarti to suppose beforehand (menduga sebelumnya), dalam arti sebelum pembicara atau penulis mengujarkan sesuatu ia sudah memiliki dugaan sebelumnya tentang kawan bicara atau hal yang dibicarakan.
Selain definisi tersebut, beberapa definisi lain tentang praanggapan di antaranya adalah George Yule (2006:43) menyatakan bahwa praanggapan atau presupposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Yang memiliki presuposisi adalah penutur bukan kalimat. Louise Cummings (1999: 42) menyatakan bahwa praanggapan adalah asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu. Nababan (1987:46), memberikan pengertian praanggapan sebagai dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa (menggunakan bahasa) yang membuat bentuk bahasa (kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar atau penerima bahasa itu dan sebaliknya, membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa yang dapat dipakainya untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud.
Dari beberapa definisi praanggapan di atas dapat disimpulkan bahwa praanggapan adalah kesimpulan atau asumsi awal penutur sebelum melakukan tuturan bahwa apa yang akan disampaikan juga dipahami oleh mitra tutur.
Untuk memperjelas hal ini, perhatikan contoh berikut :
a : “Aku sudah membeli bukunya Pak Udin kemarin”
b : “Dapat potongan 30 persen kan?
Contoh percakapan di atas menunjukkan bahwa sebelum bertutur (a) memiliki praanggapan bahwa (b) mengetahui maksudnya yaitu terdapat sebuah buku yang ditulis oleh Pak Pranowo.
Kesalahan membuat praanggapan efek dalam ujaran manusia. Dengan kata lain, praanggapan yang tepat dapat mempertinggi nilai komunikatif sebuah ujaran yang diungkapkan. Makin tepat praanggapan yang dihipotesiskan, makin tinggi nilai komunikatif sebuah ujaran yang diungkapkan.
Contoh:
(a) “Ayah saya datang dari Surabaya”.
(b) “Minuman nya sudah selesai”.
 Dari contoh (a) praanggapan adalah: (1) saya mempunyai ayah; (2) Ayah ada disurabaya. Pada contoh (b) praanggapannya adalah silahkan diminum. Oleh karena itu, fungsi praanggapan ialah membantu mengurangi hambatan respons orang terhadap penafsiran suatu ujaran.  
1.       Jenis-jenis Praanggapan
Praanggapan (presuposisi) sudah diasosiasikan dengan pemakaian sejumlah besar kata, frasa, dan struktur (Yule, 2006:46). Selanjutnya Gorge Yule mengklasifikasikan praanggapan ke dalam 6 jenis praanggapan,  yaitu presuposisi eksistensial, presuposisi faktif, presuposisi non-faktif, presuposisi leksikal, presuposisi struktural, dan presuposisi konterfaktual.
Ø Presuposisi Esistensial
           Presuposisi (praanggapan) eksistensial adalah preaanggapan yang menunjukkan eksistensi/ keberadaan/ jati diri referen yang diungkapkan dengan kata yang definit.
a. Orang itu berjalan
b. Ada orang berjalan
Ø Presuposisi Faktif
           Presuposisi (praanggapan) faktif adalah praanggapan di mana informasi yang dipraanggapkan mengikuti kata kerja dapat dianggap sebagai suatu kenyataan.
a. Dia tidak menyadari bahwa ia sakit
b. Dia sakit
Ø Presuposisi Leksikal
           Presuposisi (praanggapan) leksikal dipahami sebagai bentuk praanggapan di mana makna yang dinyatakan secara konvensional ditafsirkan dengan praanggapan bahwa suatu makna lain (yang tidak dinyatakan) dipahami.
a. Dia berhenti merokok
b. Dulu dia biasa merokok
Ø Presuposisi Non-faktif
           Presuposisi (praanggapan) non-faktif adalah suatu praanggapan yang diasumsikan tidak benar.
a. Saya membayangkan berada di Hawai
b. Saya tidak berada di Hawai
Ø  Presuposisi Struktural
Presuposisi (praanggapan) struktural mengacu pada sturktur kalimat-kalimat tertentu telah dianalisis sebagai praanggapan secara tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah diasumsikan kebenarannya. Hal ini tampak dalam kalimat tanya, secara konvensional diinterpretasikan dengan kata tanya (kapan dan di mana) seudah diketahui sebagai masalah.
a. Kapan dia pergi?
b. Dia pergi
Ø  Presuposisi konterfaktual
Presuposisi (praanggapan) konterfaktual berarti bahwa yang di praanggapkan tidak hanya tidak benar, tetapi juga merupakan kebalikan (lawan) dari benar atau bertolak belakang dengan kenyataan.
a. Seandainya ibu kota Jawa Barat ada di Sumedang.
b. Ibu kota Jawa Barat bukan di Sumedang.

B.    IMPLIKATUR

Konsep implikatur  kali pertama dikenalkan oleh H.P. Grice (1975) untuk memecahkan persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa. Implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang dimaksud oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah (Brown dan Yule 1983:1). Makna tersirat (implied meaning) atau implikatur adalah makna atau pesan yang tersirat dalam ungkapan lisan dan atau wacana tulis. Kata lain implikatur adalah ungkapan secara tidak langsung yakni makna ungkapan tidak tercermin dalam kosa kata secara literal. Dalam pemakaian bahasa terdapat implikatur yang disebut implikatur konvensional, yaitu implikatur yang ditentukan oleh ‘arti konvensional kata-kata yang dipakai’.
Contoh:
a. Dia orang Palembang karena itu dia pemberani.
Pada contoh (a) tersebut, penutur tidak secara langsung menyatakan bahwa suatu ciri (pemberani) disebabkan oleh ciri lain (jadi orang Palembang), tetapi bentuk ungkapan yang dipakai secara konvensional berimplikasi bahwa hubungan seperti itu ada. Kalau individu itu dimaksud orang Palembang dan tidak pemberani, implikaturnya yang keliru tetapi ujaran tidak salah.
Ada empat macam faedah konsep implikatur, yaitu
a.      Dapat memberikan penjelasan makna atau fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori-teori linguistik.
b.      Dapat memberikan penjelasan yang tegas tentang perbedaan lahiriah dari yang dimaksud si pemakai bahasa.
c.       Dapat memberikan pemberian semantik yang sederhana tentang hubungan  klausa yang dihubungkan denagn kata penghubung yang sama.
d.      Dapat memberikan berbagi fakta yang secara lahiriah kelihatan tidak berkaitan, malah berlawanana (seperti metafora).

Ø  Jenis-jenis Implikatur
1.       Implikatur Percakapan
Asumsi dasar percakapan adalah jika tidak ditunjukan sebaliknya bahwa peserta tuturnya mengikuti maksim-maksim prinsip kerja sama. Maksim adalah pernyataan ringkas yang mengandung ujaran atau kebenaran umum tentang sifat-sifat manusia. Untuk memperjelas, berikut contohnya:
Lisa: Nanti, kamu bawakan aku kue pelangi dan jus jeruk, ya.
Mona: Oke, aku akan bawakan kamu kue pelangi
Pada contoh tuturan di atas, Lisa berasumsi bahwa Mona melakukan kerja sama. Namun, Mona tidak sadar sepenuhnya maksud Lisa tentang maksim kuantitas karena Mona tidak menyebutkan jus jeruk. Jika membawakan jus jeruk, maka Mona akan mengatakannya karena ia ingin memenuhi maksim kuantitas. Lisa seharusnya menyimpulkan bahwa apa yang dia katakan melalui suatu implikatur percakapan. Sebab, penuturlah yang menyampaikan makna melalui implikatur dan sosok yang mengenali makna-makna yang disampaikan lewat inferensi.
2.       Implikatur Percakapan Umum
Implikatur percakapan khusus tidak dipersyaratkan untuk memperhitungkan makna tambahan yang disampaikan, maka disebut implikatur percakapan umum.
Contoh: Pada suatu hari saya duduk di sebuah taman. Sepasang kekasih pun duduk di salah satu bangku taman itu.

Contoh implikatur pada tuturan di atas adalah bahwa taman dan pasangan kekasih bukanlah milik penutur dan tak dikenali penutur. Apabila penutur lebih spesifik menuturkan, maka bisa jadi kebun dan sepasang kekasih yang dimaksudkannya dikenalinya. Misalnya, Pada suatu hari saya duduk di tamanku. Sepasang kekasih yang kukenalpun duduk di salah satu bangku tamanku itu.
3.       Implikatur Berskala
Informasi selalu disampaikan dengan memilih sebuah kata yang menyatakan suatu nilai dari suatu skala nilai.Ini secara khusus tampak jelas dalam istilah-istilah untuk mengungkapkan kuantitas, seperti yang ditunjukkan dalam sebuah skala, ketika istilah-istilah itu didaftar dari skala nilai tertinggi ke nilai terendah.

Contohnya:
semua, sebagian besar, banyak, beberapa, sedikit selalu, sering, kadang-kadang.
"Saya sedang belajar ilmu bahasa dan saya telah melengkapi beberapa mata kuliah yang dipersyaratkan."
Dengan memilih kata "beberapa" dalam contoh tuturan di atas penutur menciptakan suatu implikatur. Ini yang disebut implikatur berskala. Implikatur berskala adalah semua bentuk negatif dari skala yang lebih tinggi yang dilibatkan apabila dalam skala itu dinyatakan.
4.      Implikatur Percakapan Khusus
Pada sebuah percakapan, implikatur telah diperhutangkan tanda adanya pengetahuan khusus terhadap konteks tertentu. Akan tetapi, seringkali percakapan kita terjadi dalam konteks yang sangat khusus. Inferensi-inferensi yang demikian dipersyaratkan untuk menentukan maksud yang disampaikan menghasilkan implikatur percakapan khusus.
Mira: Apakah kamu suka es krim?
Anton: Apa itu Magnum Gold?
Mira bertanya apakah lawan tuturnya menyukai es krim atau tidak. Akan tetapi, Anton sebagai lawan tutur tidak menjawab ya atau tidak. Namun, keduanya melakukan kerja sama. Mira tidak memerlukan jawaban ya, namun sudah mengerti kalau Anton menyukai es krim karena menyebutkan merek es krim terkenal. Artinya, Anton menunjukkan ketertarikan terhadap es krim.
5.       Implikatur Konvensional
Implikatur konvensional tidak didasarkan pada prinsip kerja sama atau maksim-maksim. Implikatur konvensional tidak harus terjadi dalam percakapan,dan tidak langsung pada konteks khusus untuk mengiterpretasikannya. Implikatur konvensional diasosiasikan dengan kata-kata khusus dan menghasilkan maksud tambahan apabila yang disampaikan apabila kata-kata itu digunakan. Kata penghubung "tetapi" adalah salah satu kata-kata ini.
Contoh;
Indi menyarankan warna hitam, tetapi saya ingin warna putih.
Pada contoh di atas, kenyataan bahwa Indi menyarankan warna hitam, bertolak belakang dengan pilihan saya warna putih. Melalui implikatur konvensional 'tetapi'. Hal ini terjadi dalam pemakaian bahasa biasanya terdapat implikatur yang disebut implikatur konvensional,  yaitu implikatur yang ditentukan oleh ‘arti konvensional kata-kata yang dipakai’.

C.   KATA DAN RUJUKAN (DEIKSIS, REFERENSI DAN INFERENSI)
Deiksis adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti “penunjukan”. Sehingga ungkapan yang menunjukan kepada suatu objek disebut dengan ungkapan deiksis (Yule, 1996). Misalnya kita menggunakan ungkapan yang mengandung kata “ini”, “itu”, “-mu”, “-ku”, “-nya”, “disini”, “disana”, “sekarang”, “tadi”, “kemudian”, maka ungkapan itu menjadi ungkapan deiksis. Deiksis, di dalam Pragmatik dibagi menjadi deiksis persona (jika merujuk pada kepunyaan atau kedirian), deiksis jarak/spasial (jika menunjukan jarak), deiksis waktu (jika ungkapan itu menggambarkan waktu atau tenses), deiksis tempat (jika ,merujuk pada suatu tempat) yang sebenarnya bisa saja dimerger menjadi satu dengan deiksis spasial. Adapun variabel-variabel yang bermain dalam deiksis adalah referensi dan inferensi. Referensi adalah rujukan yang dimaksud oleh penutur deiksis, sementara itu inferensi konsep yang kurang lebih harus sama dengan referensi tetapi ada dalam pikiran pendengar. Setiap kata atau ungkapan deiksis yang dituturkan itu merujuk pada objek atau pengertian tertentu (reference) dan pendengar harus memiliki pengetahuan mengenai apa yang dirujuk oleh tuturan itu (inference). Dalam upaya untuk mencerna referensi penutur, pendengar harus memperhatikan pilihan kata yang digunakan oleh penutur sekaligus mensingkronkan makna kata tersebut dengan gestur penutur (Huang, 2007). Misalnya penutur menggunakan deiksis spasial “itu” seraya menggunakan jari telunjuk, wajah, mata atau yang lain untuk membantu pendengar mengetahui referensi yang dimaksud. Akan tetapi, dapatkah itu terjadi jika ungkapan deiksis itu digunakan atau diproduksi lewat alat komunikasi tak langsung seperti telepon, surat, SMS, dan sebagainya? Huang (2007:134) menyebutkan bahwa gestur merupakan penggunaan dasar dan simbol seperti kata merupakan penggunaan yang lebih luas. Kedua (gestur dan simbol) memang saling membantu satu sama lain, agar ungkapan dapat dimengerti. Tetapi satu hal yang dilupakan oleh kedua pakar ini adalah kondisi skemata pendengar (addressee) yang juga bermain peran sangat penting dalam penelaahan inferensi. Skemata pendengar yang berasal dari pengalaman dialogis (pengalaman-pengalaman yang saling berhubungan)seharusnya mendapatkan perhatian yang lebih penting daripada sekedar membahas bagaimana memproduksi ungkapan deiksis. Anda bisa saja mengatakan berulang-ulang “the goheba then flies crossing the mountain” kepada seorang teman Australia, tetapi jangan harap kata “goheba” itu memberikan sebuah arti kepada teman anda, hingga teman anda memahami bahwa “goheba” adalah “burung” berkat frase “flies crossing the mountain”. Teman anda pasti mempunyai pengalaman bahwa burung bisa terbang, tetapi pesawat juga bisa terbang. Bagaimana bisa dia menentukan bahwa “goheba” itu burung dan bukan pesawat?, disinilah teman anda membutuhkan pengalaman yang lebih dari sekedar mencerna kalimat-kalimat anda. Skemata pengetahuannya harus dibangun melalui pertanyaan “what do you mean with goheba?” disini jelas bahwa skemata pengetahuan pendengar berperan sangat penting dalam hal mencerna ungkapan deiksis. Buat apa ungkapan deiksis digunakan atau dirumuskan, jika tidak dijelaskan variabel-variabel penting yang bisa menjelaskan makna-makna ungkapan deiksis itu bisa dicerna?


SEMOGA BERMANFAAT


http://laukhilmahfidiyah.blogspot.com/

0 komentar:

Posting Komentar

JAM ANALOG

 

Blogger news

Blogroll

About